KEADILANMUTLAK. Islam adalah agama yang menjadikan keadilan mutlak sebagai sendi pokok dalam permasalahan internasional. "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu berdiri teguh di jalan
Oleh PROF KH DIDIN HAFIDHUDDINOLEH PROF KH DIDIN HAFIDHUDDIN Sebagaimana telah sama-sama diketahui bahwa hampir seluruh khatib Jumat pada setiap khutbah yang kedua, setelah membaca shalawat dan doa, selalu membaca satu ayat yang terdapat di dalam Alquran, surah An-Nahl 16 ayat 90 yang artinya “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” Meskipun membaca ayat tersebut bukan syarat dan bukan pula rukun khutbah artinya tidak membaca pun tidak menyebabkan tidak sahnya khutbah, semua jamaah diingatkan minimal setiap Jumat untuk memahami, menadaburi, bahkan juga mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ayat tersebut, menurut Abdullah bin Mas'ud, pakar tafsir sahabi, ayat yang mengandung tiga perintah utama, yang menjadi sumber kebaikan dan kemaslahatan. Sekaligus ayat tersebut mengandung tiga larangan utama yang harus dijauhi oleh setiap Muslim agar tidak terjerembab pada kehancuran dan pada kenistaan. Banyak perintah di dalam Alquran maupun hadis Nabi untuk menegakkan keadilan dalam bidang hukum. Bahkan, terhadap musuh sekalipun yang kita benci. Tiga perintah utama Dalam ayat tersebut tadi QS an-Nahl [16] ayat 90 ada tiga perintah utama yang harus dijadikan sebagai rujukan di dalam menata kehidupan. Pertama, perintah untuk menegakkan keadilan dalam semua sendi kehidupan. Keadilan dalam penegakan hukum, keadilan dalam bidang ekonomi, dan lain-lain. Banyak perintah di dalam Alquran maupun hadis Nabi untuk menegakkan keadilan dalam bidang hukum. Bahkan, terhadap musuh sekalipun yang kita benci, kita tetap diperintahkan untuk menegakkan keadilan. Firman-Nya dalam QS al-Maidah 5 ayat 8 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Ketika ada kasus hukum yang berkaitan dengan diri kita, kedua orang tua dan kerabat kita, keadilan harus tetap ditegakkan. Firman-Nya dalam surah an-Nisaa 4 ayat 135 “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan kata-kata atau enggan menjadi saksi maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” Di zaman Rasulullah SAW, seperti diberitakan dalam hadis sahih riwayat Imam Bukhari-Muslim, pernah terjadi kasus pencurian korupsi yang dilakukan oleh seorang wanita dari bani Makhzumiyyah suku bangsa yang dianggap elite di kalangan bangsa Arab ketika itu dan para sahabat enggan menerapkan hukuman kepadanya. Dari hadis tersebut bisa diambil pelajaran yang berharga bahwa kehancuran suatu bangsa bukan semata-mata karena kefakiran dan kemiskinan, akan tetapi karena diskriminatif dalam penegakan hukum. Lalu, Rasulullah SAW mengumpulkan para sahabatnya sambil bersabda "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya hancurnya bangsa-bangsa sebelum kamu sekalian karena tindakan diskriminatif dalam penegakan hukum. Jika yang mencuri itu dari kalangan Syarif orang-orang yang dianggap mulia mereka enggan menegakkan hukum. Tetapi, jika yang mencuri itu dari kalangan dhaif orang lemah, rakyat jelata mereka cepat menerapkan hukumannya. Demi Allah, andaikan Fatimah anakku sendiri yang mencuri maka aku akan potong tangannya dengan tanganku sendiri.” Dari hadis tersebut bisa diambil pelajaran yang berharga bahwa kehancuran suatu bangsa bukan semata-mata karena kefakiran dan kemiskinan, akan tetapi karena diskriminatif dalam penegakan hukum. Hilangnya rasa keadilan sence of justice dan secara empirik sekaligus peristiwa itu menggambarkan bahwa Islam itu adalah agama keadilan, baik secara ajaran maupun dalam implementasinya. Pada saat ini kita merasakan ketidakadilan terjadi dalam berbagai bidang dan ini sangat membahayakan terhadap masa depan bangsa dan negara. Karena itu, kita semua wajib meluruskan kembali arah dari penegakan keadilan agar sejalan dengan cita-cita bangsa dan negara. Membiarkan perlakuan diskriminatif dalam penegakan hukum sama dengan membiarkan kehancuran dan kerusakan bangsa serta negara. Perintah kedua dari QS an-Nahl 16 ayat 90 itu adalah berbuat ihsan, berbuat kebajikan secara maksimal dalam segala bidang sesuai dengan keahlian kita. Allah SWT akan menilai amaliah seseorang itu karena ihsannya, bukan banyak atau sedikitnya. Allah SWT berfirman dalam QS al-Mulk 67 ayat 2 yang artinya “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik ihsan amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” Umat ini akan menjadi kuat ketika kolaborasi dan sinergi terbangun dengan baik. Sebaliknya, akan menjadi lemah ketika tidak terdapat sinergi dan kerja sama. Kita berharap umat memiliki berbagai keahlian yang dibutuhkan oleh masyarakat dan diimplementasikan secara maksimal dan optimal, sehingga akan dirasakan bahwa umat Islam itu adalah umat yang terbaik QS Ali Imran [3] ayat 110. Perintah ketiga adalah menguatkan hubungan kekerabatan dan persaudaraan. Saling tolong-menolong, saling membantu satu dengan lainnya, saling berkolaborasi dan saling bersinergi dalam berbagai bidang kehidupan atas dasar iman dan takwa. Firman-Nya dalam QS al-Maidah 5 ayat 2 “… Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” Umat ini akan menjadi kuat ketika kolaborasi dan sinergi terbangun dengan baik. Sebaliknya, akan menjadi lemah ketika tidak terdapat sinergi dan kerja sama. Tiga larangan utama Di samping tiga perintah utama, dalam QS an-Nahl 16 ayat 90 ini terdapat tiga larangan utama yang harus dijauhi karena akan menghancurkan tatanan kehidupan. Pertama, dilarang berbuat fahsyaa, dosa besar yang menjijikkan dan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, seperti perzinaan, perjudian, minuman keras, dan perbuatan buruk lainnya. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Thabrani, Rasulullah SAW menjelaskan tentang buruknya perbuatan zina. Rasulullah SAW bersabda ayng diriwayatkan oleh Imam Tabrani dari Ibn Abbas “Jauhilah oleh kalian perbuatan zina karena perbuatan zina akan menyebabkan empat permasalahan kecelakaan menghilangkan keelokan wajah wajah tidak berseri-seri, terputusnya rezeki mengakibatkan kefakiran, mengakibatkan kemurkaan Allah, dan mengakibatkan kekal di dalam neraka.” Kedua, dilarang berbuat mungkar yang merusak tatanan kehidupan kemanusiaan, seperti membunuh seseorang atau sekelompok orang tanpa alasan. Perbuatan ini termasuk kejahatan besar yang akan mendapatkan balasan dari Allah SWT, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam lintasan sejarah yang digambarkan Alquran, semua pemimpin yang zalim kepada rakyatnya berujung pada kehancuran. Firman-Nya dalam QS an-Nisaa’ 4 ayat 93 “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” Dalam hukum dunia harus dikenakan hukum qishash sebagaimana firman-Nya dalam QS al-Baqarah 2 ayat 178-179. Ketiga, larangan al-baghyu, yaitu berlaku zalim kepada sesama. Kezaliman akan mengundang murka dari Allah SWT dan hilangnya keberkahan di dalam kehidupan di dunia. Jika seorang pemimpin berlaku zalim kepada masyarakatnya maka akan langsung berhadapan dengan azab dari Allah SWT. Hanya tinggal menunggu waktunya. Dalam lintasan sejarah yang digambarkan Alquran, semua pemimpin yang zalim kepada rakyatnya berujung pada kehancuran. Contohnya Fir’aun yang mengadu domba sesama rakyatnya dan membunuh bayi laki-laki hanya karena mengikuti ramalan dari para tukang sihirnya agar anak laki-laki tersebut jika sudah dewasa tidak merebut kekuasaannya, tetapi akhirnya Fir’aun dan sekutunya ditenggelamkan dan dihancurkan oleh Allah SWT. Kita berharap mudah-mudahan masyarakat dan bangsa kita serta para pemimpin bangsa kita dijauhkan dari sifat-sifat buruk, terutama perilaku zalim karena hanya akan membawa kehancuran dan kerusakan. Wallahu a’lam bi ash-Shawab.
artikel ini hendak mengeksplorasi tentang keadilan yang dikonsepkan oleh Islam dalam dalam berbagai keilmuan. Dalam Islam, selain dikenal adanya kewajiban, terdapat pula apa yang dinamakan dengan hak. Terkait dengan hak tersebut, tentu tidak dapat dilepaskan dari apa yang disebut dengan keadilan atau rasa adil. Keadilan yang terdapat dalam ajaran Islam dikemukakan didoktrinkan oleh berbagai aspke keilmuan baik itu filsafat, akhlak, teologi maupun hukum. Penelitian ini membahas secara khusus mengenai hubungan antara hak dan keadilan yang dikonsepkan dan diajarkan dalam Islam. Hasilnya, bahwa dalam Islam pemberian dan ketentuan hak seseorang ataupun kelompok tidak dapat dilepaskan dengan keberadaan prinsip penting yakni keadilan. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Aqlania Jurnal Filsafat dan Teologi Islam Vol. 10 No. 2 Juli-Desember 2019, p. 167-181. 167 Konsep Islam Tentang Keadilan Kajian Interdisipliner Hafidz Taqiyuddin Universitas Islam negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten Abstrak artikel ini hendak mengeksplorasi tentang keadilan yang dikonsepkan oleh Islam dalam dalam berbagai keilmuan. Dalam Islam, selain dikenal adanya kewajiban, terdapat pula apa yang dinamakan dengan hak. Terkait dengan hak tersebut, tentu tidak dapat dilepaskan dari apa yang disebut dengan keadilan atau rasa adil. Keadilan yang terdapat dalam ajaran Islam dikemukakan didoktrinkan oleh berbagai aspke keilmuan baik itu filsafat, akhlak, teologi maupun hukum. Penelitian ini membahas secara khusus mengenai hubungan antara hak dan keadilan yang dikonsepkan dan diajarkan dalam Islam. Hasilnya, bahwa dalam Islam pemberian dan ketentuan hak seseorang ataupun kelompok tidak dapat dilepaskan dengan keberadaan prinsip penting yakni keadilan. Kata Kunci hak individu; hak bawaan; baik dan buruk. Pendahuluan Adanya maksud kata adil yang tidak hanya memiliki satu arti menjadikan timbulnya perbedaan pendapat mengenai keadilan yang terdapat dalam suatu hukum, yakni pemikiran mengenai keadilan yang terdapat pada hukum waris dalam hukum Islam misalnya. Jika keadilan dikaitkan dengan sifat Tuhan, maka setiap ketentuan hukum yang berasal dari-Nya, yakni berupa wahyu yang dalam tataran hukum dikenal dengan al-nuṣūṣ, harus dilaksanakan. Hal demikian, karena setiap peraturan yang sumbernya dari al-naṣṣ yang sudah tentu itu merupakan hukum yang adil. Kemudian, menurut Said Nursi w. 1960 M., esensi dari keadilan Tuhan bisa terlihat dalam aspek pemberian pahala dan siksaan terhadap suatu perbuatan. Allah melakukan itu karena bukan apa yang nampak terlihat mata, tapi karena maksud dan tujuan yang melatarbelakangi suatu Sebenarnya, hakikat keadilan itu tidak dapat diukur secara otentik, karena keadilan yang hakiki hanya dimiliki oleh zat yang maha adil yakni Allah SWT yang tercermin dalam firman-firmannya, yang selalu menekankan kepada adanya kadilan2. Walaupun demikian, keadilan dapat dicapai dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip utama keadilan, yakni a tidak adanya perlakuan berat sebelah; b 1 Badiuzzaman Said Nursi, The Words The Reconstruction of Islamic Belief and Thought, diterjemahkan oleh Huseyn Akarsu New Jersey The Light, 2005, 84 2 Misalnya adalah al-Ḥujrāt ayat 9, dan Ṣad ayat 26. Hafidz Taqiyuddin Konsep Islam Tentang Keadilan 168 yang dijadikan dasar hukum adalah tujuan mengenai apa yang dilakukan bukan mengenai proses hukumnya; c memandang suatu permasalahan dari berbagai Selain itu, dikemukakan pula oleh John Rawls4, diantara prinsip itu adalah 1. Kebebasan yang sama sebesar-besarnya, asalkan tetap menguntungkan semua pihak; 2. Prinsip ketidaksamaan yang digunakan untuk keuntungan bagi yang paling Said Nursi berpendapat, bahwa keadilan dalam Islam tidak cukup hanya terdapat dalam tulisan semata. Akan tetapi, keadilan harus dibarengi dengan pelaksanaannya. Praktek tersebut bisa tertuang dalam keputusan yang dilakukan Peradilan misalnya. Nursi mencontohkan praktek yang demikian itu bisa dilihat pada masa Khalifah Ali bin Abi Tholib yang bekerja sama dengan para hakim pada waktu itu dalam penegakkan hukum yang Pembahasan Adil dalam Alqur’an diungkapkan dengan beberapa kata, yaitu dan .7 Adil dapat diartikan tidak memihak, sama berat, sepatutnya, tidak berat sebelah, dan tidak sewenang-wenang. Misalnya suatu putusan pengadilan yang tidak berat dan tidak memihak kepada salah satu pihak dianggap adil, dan perlakuan pemerintah terhadap rakyat dengan tidak sewenang dapat pula disebut Kata adil dalam bahasa Arab memiliki sinonim dengan kata-kata lain, yakni , , , Berbeda dengan keadilan yang diartikan dalam bahasa Inggris dengan justice yang lawan katanya adalah injustice, kata adl , menurut Majid Khadduri, mempunyai kata yang berbeda arah dengannya, yakni jawr, dan ungkapan lain yang hampir sama maksudnya namun berbeda bentuk kata yaitu ẓulm, mayl, ṭughyān dan Jika dilihat makna yang lebih luas, ada beberapa makna yang dapat diberikan kepada maksud dari keadilan10, yakni Adil dalam arti seimbang 3 Aḥmad Amīn, Al-Akhlāq Kairo Dār al-Kutub, 1931, 174-176. 4John Rawls Bordley adalah salah satu filusuf yang berpengaruh abad kedua puluh. Ia lahir pada tanggal 21 Februari, 1921 di Baltimore, Maryland, putra William Lee Rawls dan Anna Abel Stump Rawls. Rawls menerima gelar sarjana seni dari Princeton University pada tahun 1943. Karir Rawls berkarir di Departemen Filsafat di universitas bergengsi di Inggris dan Amerika Serikat, termasuk Universitas Princeton, Oxford University, Cornell University, dan Massachusetts Institute Teknologi. Ia menjadi profesor filsafat di Harvard University pada tahun 1962. Bandingkan dengan T. Henderick & M. Barnyeat ed, Philosophy as It is, USA Harmondsworth, 1979, 89. 5 John Rawls, A Theory of Justice, 6th Cambridge Harvard University Press, 2002, 53. kan dengan Michelle Campbell and Friends, Nonfiction Classics for Students Farmington Hills The Gale Group, 2002, 297. 6 Badiuzzaman Said Nursi, The Rays Collection, diterjemahkan oleh Sukran Vahide, 401. 7 Balitbang Kementerian Agama Alqur’an dan Terjemahnya, tahun 2007. 8 Tim penyusun kamus bahasa, Kamus Bahasa Indonesia Jakarta Pusat Bahasa, 2008, 12. 9 Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice Baltimore Johns Hopkin University Press, 1984, 6. 10 Lihat Quraish Shihab, Wawasan Alqur’an , cet. Ke-9 Bandung Mizan, 1999, 113-117. Aqlania Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 2 Juli-Des. 2019, p. 167-181. 169 Seimbang bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang sesuai dengan kelayakannya sehingga terdapat kesesuaian kedudukan dan fungsinya dibanding dengan individu lain. Untuk merealisasikan keadaan seimbang yang dimaksud, perlu adanya syarat, baik itu ukuran yang tepat pada setiap bagian dan pola kaitan antar bagian Jadi, substansi dari keseimbangan yang dimaksud bukan menuntut kesamaan sesuatu yang diperoleh, akan tetapi arahnya lebih kepada proporsionalitas. Pengertian yang demikian bisa dilihat dalam kandungan firman Allah SWT, al-Infiṭār 6-7 berikut .. Ungkapan dalam ayat tersebut, menurut Muḥammad al-Rāzi, bahwa ungkapan itu menunjukkan pemberian anugerah Allah kepada manusia berupa potensi keseimbangan dalam bentuk penciptaan yang sempurna, sehingga manusia bisa menerima anugerah lain berupa akal dan Sementara itu, dilihat dari sisi akal sebagai anugerah, dapat dikatakan bahwa akal adalah cahaya yang dapat digunakan manusia untuk membedakan dan menentukan mana yang baik dan mana yang tidak baik buruk. Manusia, dengan mudah, dapat mengetahui bahwa kezaliman itu hal yang buruk dan keadilan adalan hal yang baik dengan menggunakan Adil berarti sama Adil yang dimaksud yakni memperlakukan sama dengan tidak membeda-bedakan di antara setiap individu untuk memperoleh haknya. Pengertian seperti ini, menurut Quraish Shihab, lebih diarahkan kepada proses dan perlakuan hakim terhadap pihak-pihak yang berperkara, bukan persamaan perolehan yang didapatkan setiap individu di depan pengadilan terhadap objek yang diperkarakan. Kemudian juga, dengan melihat kandungan al-Nisā ayat 5814, bahwa sudah merupakan kewajiban hakim untuk tidak membedakan perlakuan terhadap pihak-pihak yang berperkara, misalnya, penyebutan nama, tempat duduk, memikirkan ungkapan yang diucapkan mereka, keceriaan wajah dan kesungguhan Adil dalam arti sifat yang dihubungkan dengan Allah 11 Lihat Muhammad Taufik, “Filsafat John Rawls tentang Teori Keadilan”, Mukaddimah, Vol. 19 No. 01 2013, 43-44. 12 Muḥammad al-Rāzī, Mafātiḥ al-Ghayb, juz 31 Beirut Dār al-Fikr, 1981, 81. 13 Taqī al-Mudarrisī, al-Tashrī al-Islāmī, juz 1 Bagdad Intisharāt al-Mudarrisī, 1999, 12. 14 al-Nisā 58 Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. 15 Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung Mizan, 1998, 114. Hafidz Taqiyuddin Konsep Islam Tentang Keadilan 170 Adil merupakan salah satu sifat Allah adalah adil. Bahkan menurut Mu’tazilah sifat adil adalah sifat afāl Allah yang paling tinggi dibandingkan dengan sifat-Nya yang lain. Oleh karena itu mereka dijuluki dengan al-firqah al-adlīyah. Menurut mereka, Allah adalah zat yang maha pencipta. Setiap penciptaanya pasti mempunyai hikmah dan tujuan tertentu. Jika Allah menetapkan suatu hukum pada sesuatu, maka pasti di dalamnya terkandung sebuah keadilan. Kemudian, apabila di dalam penetapan tersebut tidak terdapat tujuan yakni keadilan, maka perbuatannya menjadi sia-sia, dan itu merupakan hal yang mustahil bagi Allah. Pendapat demikian dibantah oleh al-Ash’ariyah yang menyatakan segala yang diciptakan Allah baik berupa benda maupun hukum tidak termuat di dalamnya tujuan al-gharḍ. Karena, apabila itu terjadi, maka Allah menjadi zat yang butuh terhadap sesuatu, yakni realisasi dari tujuannya dalam menciptakan sesuatu, sedangkan hal yang demikian sesuatu yang dituju adalah hal yang tidak dapat dimengerti oleh Akan tetapi adil yang dimaksud bukan merupakan keadilan yang disandarkan kepada pemahaman manusia tentang kaitan adil dengan kebaikan dan Hal ini, karena setiap ketentuan dan kehendak Allah adalah adil, walaupun tekadang adil dalam ketentuan tersebut tidak terjangkau oleh oleh akal dan bahkan dianggap tidak adil dari sudut pandang manusia. Hal ini terjadi karena ide mengenai kebaikan dan keburukan dalam perbuatan adalah sesuatu yang berlaku pada manusia, disebabkan adanya suara hati etika manusia yang dibentuk dari ide relatif, bukan ide Jadi, dapat disimpulkan bahwa keadilan yang disandarkan kepada Allah merupakan keadilan yang terlepas dari penganalogian manusia tentang baik dan buruk yang dibentuk oleh ide manusia. Berbeda dengan dengan keadilan menurut manusia, keadilan Allah merupakan keadilan yang terkandung dalam wahyu-Nya yang diberikan kepada para utusan Rusul Allah, sebagai refleksi sebuah kepastian yang istimewa dari Allah dan karunia terhadap alam yang diciptakan-Nya. Dengan adanya manifestasi kehendak Allah dalam firman-Nya, maka akan tercapai keadilan dan keseimbangan. Keadilan ilahi pada dasarnya rahmat dan kebaikan-Nya, dengan tidak mempertimbangkan perbuatan yang dilakukan oleh manusia dan tidak tertahan sejauh makhluk itu dapat memperolehnya. Hal demikian tercermin dalam firman Allah Ali Imran 18 berikut 16 Aḥmad Mahmud ṣabahī, al-Falsafah al-Akhlāqīyah fī al-Fikr al-Islāmī, cet ke-2 Iskandaria Dār al-Maārif, 45. Juga lihat Hānim Ibrāhīm Yūsuf, Aṣl al-Adl inda al-Mu’tazilah Kairo Dār al-Fikr al-Arabī, 1993, 151-153, dan lihat Muḥammad Nawāwī al-Jāwī, Tījān al-Durārī Surabaya Dār al-Ilm, 4. 17 Leonid Sykiainen “Said Nursi’s Approach to Justice and Its Role for Political Reforms in the Muslim World” Diakses 04/11/2013. 18 Murtaḍa al-Muṭahharī, al-Adl al-Ilāhī Beirut Shabkah al-Fikr, 55-57. Aqlania Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 2 Juli-Des. 2019, p. 167-181. 171 .Ungkapan , menurut Ibn al-Qāyīm al-Jawzīyah, menunjukkan bahwa setiap hukum Allah yang di-taklif-kan kepada umat-Nya mengandung unsur keadilan dalam bentuk kebenaran, tetap sasaran, dan terdapat hikmah di Adil dalam arti perhatian dan pemberian terhadap hak-hak individu Yang dimaksud dengan adil terhadap individu merupakan perlakuan adil terhadap individu dengan memberikan hak sesuai dengan apa yang harus diterimanya. Dengan kata lain, setiap individu yang menjadi bagian dari masyarakat, maka ia berhak mendapatkan hak sebgaimana hak yang juga dirasakan oleh anggota masyarakat lain, dengan tidak merampas hak orang lain. Kebalikan adil yang dikehendaki disini merupakan kebalikan dari sifat al-Z{ulm aniaya. Di antara perbuatan aniaya, yaitu pencurian dan pengambilan secara paksa, karena perbuatan-perbuatan tersebut adalah prilaku yang merugikan orang Diskusi atau pembicaraan mengenai keadilan banyak dilakukan dari berbagai sisi keilmuan. Hal ini karena keadilan merupakan suatu nilai virtue yang plural. Keadilan, misalnya dibicarakan di kalangan filusuf, bahkan dimulai sebelum tahun masehi. Hal tersebut dapat dilihat munculnya teori-teori mengenai keadilan yang dikeluarkan oleh mereka. Misalnya menurut Plato w. 347 SM, yang dimaksud dengan keadilan adalah pemberian kepada setiap orang berdasarkan haknya giving each man his due. Selain itu menurutnya, adil mempunyai keterkaitan yang erat dengan perasaan ada tidaknya rasa senang, karena keadaan senang tersebut diakibatkan tidak terjadinya prilaku aniaya terhadap individu. Menurutnya pula, ketika keadilan ini tercapai, maka dengan keadaan sadar ataupun tidak sadar, sudah menciptakan hubungan baik dengan Jadi, bisa ditarik kesimpulan bahwa keadilan menurut Plato tidak dapat dilepaskan dari peran dan fungsi individu dalam masyarakat. Juga, keadilan yang ideal akan tercapai bila dalam kehidupan semua unsur masyarakat sebagai individu dapat menempatkan dirinya pada proporsi masing-masing dan bertanggung jawab penuh terhadap tugas mereka, baik sebagai perseorangan maupun sebagai anggota kelompok. 19 Selain setiap afāl Allah itu adil, Dia juga memberikan perintah untuk berbuat adil dalam mengambil atau memberikan suatu keputusan hukum. Lihat Muhammad Ibn Naṣr, “ḍawābiṭ al-Adl bayn al-Zawjāt”, al-Adl, 2007 , 29-30 dan lihat Ibn al-Qāyīm al-Jawzīyah, al-ḍaw’ al-Munīr ala al-Tafsīr, jilid 2 Riyāḍ Maktabah Dār al-Salām, 20. 20 Lihat Aḥmad Amīn, al-Akhlāq, cet. Ke-2 Kairo Dār al-Kutub, 1931, 173. 21 Plato, The Republic of Plato, diterjemahkan oleh Allan Bloom London, Basic Books, 1968, 6, 34 dan 303. Hafidz Taqiyuddin Konsep Islam Tentang Keadilan 172 Kaitannya dengan term keadilan, Aristoteles w. 22 SM menjadikan keadilan dibagi dalam lima bentuk, yaitu pertama, keadilan komutatif, yaitu perlakuan terhadap seseorang tanpa melihat jasa-jasa yang dilakukannya. Kedua, keadilan distributif, yaitu perlakuan terhadap seseorang sesuai dengan jasa-jasa yang telah dibuatnya. Ketiga, keadilan kodrat alam, yaitu memberi sesuatu sesuai dengan yang diberikan orang lain kepada kita. Keempat, keadilan konvensional, yaitu seseorang yang telah mentaati segala peraturan perundang-undangan yang telah diwajibkan. Kelima, keadilan menurut teori perbaikan adalah seseorang yang telah berusaha memulihkan nama baik orang lain yang telah tercemar. Menurut Aristoteles, gambaran suatu tindakan yang mencerminkan keadilan dapat dilihat pada seseorang, yang meperlakukan dirinya dan orang lain dengan perlakuan yang sama – dengan pertimbangan yang rasional dan tidak mengakibatkan kerugian. Karena ketika didasari dengan hal tersebut, seringkali individu bahkan kelompok berbuat sesuatu ditunggangi oleh kepentingan pribadi yang merugikan orang Menurut John Rawls 1971, keadilan tidak lain merupakan nilai yang paling utama dalam tatanan institiusi sosial, sebagai sebuah kebenaran pemikiran sistem. Karena, sebaik apapun teori sebuah hukum atau norma lainnya, tidak bisa berjalan dengan baik apabila terjadi benturan hak antar individu, dalam hal pemenuhan kebutuhan misalnya. Oleh karena itu, perlu adanya rumusan atau formulasi yang tepat agar keadilan tersebut dapat terealisasi dengan Rawls menambahkan, ukuran yang harus diberikan untuk mencapai keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama harus diperkuat oleh tiga prinsip keadilan yaitu 1 kebebasan yang sama yang sebesar-besarnya, 2 perbedaan, 3 persamaan yang adil atas Walaupun demikian, menurut Philip Pettit, teori yang diungkapkan oleh Rawls hanya memberikan skema teori yang memadai untuk rasa keadilan tertentu, dan tidak mengakomodir keadaan yang Aḥmad Amīn berpendapat bahwa keadilan bisa dibagi menjadi 2 macam, yakni keadilan personal dan keadilan sosial. Keadilan personal dapat didefinisikan sebagai perlakuan adil kepada setiap individu sesuai dengan hak yang harus diterimanya sebagai bagian dari sebuah kumpulan orang atau masyarakat, dengan memperoleh sesuatu yang menjadi haknya, seperti yang diterima individu lain. Adapun yang dimaksud dengan keadilan sosial masyarakat yang berkeadilan, menurut Amīn, adalah keadaan sebuah masyarakat yang menggambarkan adanya keteraturan norma-norma, dan peraturan-peraturan yang memberikan setiap 22 Aristotle, Nichomachean ethics, diterjemahkan dan diedit oleh roger Crisp New York, Cambridge University Press, 2000, 89-102. Mohammad Reza Heidari, “A Comparative Analysis of Distributive Justice in Islamic and Non-Islamic Frameworks” Islamic Confrerence iECON, 2007, 2. 23 John Rawls, A Theory of Justice, 6th Cambridge Harvard University Press, 2002, 47. 24 John Rawls, A Theory of Justice, 48-51. 25 Philip Pettit, Theory and Decision Dordrecht Reidel Publishing Company,1974, 323. Aqlania Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 2 Juli-Des. 2019, p. 167-181. 173 anggota masyarakat mendapatkan kemudahan akses untuk memenuhi kebutuhan hidup sesuai dengan kemampuan Menurut Amīn pula, ada beberapa faktor yang dapat menjadikan keadilan personal tidak dapat tercapai, yakni pertama, rasa cinta yang berlebihan, adanya sifat tersebut mengakibatkan orang tua misalnya, tidak mampu menghukum anaknya yang bersalah, kedua, adanya asas manfaat, umpamanya seorang hakim lebih memperhatikan salah satu pihak yang berperkara karena ada hal tertentu, seperti sogokan dan kongkalikong, ketiga, aspek eksternal, misalnya salah satu pihak yang berperkara terlihat lebih menarik dibanding pihak yang Padahal seharusnya, dalam memperlukan kedua pihak pada suatu peradilan tidak ada dibeda-bedakan, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Abū al-Qāsim al-Dībājī 2003 mengatakan, para filusuf membagi adil al-Adl, berdasarkan hasil akal28 manusia menjadi dua macam, yaitu al-adl al-ṭabīī dan al-adl al-waḍī. maksud dari al-adl al-ṭabīī, ialah pemikiran bersih dengan keinginan besar yang dimiliki oleh akal manusia untuk memahami dan melihat jelas hak-hak bawaan sejak lahir yang patut didapat oleh manusia. Hak yang dimaksud, dapat dipecah menjadi dua bagian, yakni al-haqq al-dākhilī hak internal dan al-haqq al-khārijī hak eksternal. Kemudian, menurut al-Dībājī hak internal dapat juga dibagi menjadi tiga, yaitu al-ḥaqq al-khāṣ, al-ḥaqq al-ām dan al-ḥaqq al-iqābī. Selanjutnya, al-adl al-waḍī adalah suatu pencapaian baik sebagai hasil jerih payah akal di mana dapat membuat suatu norma atau aturan hukum yang menjadikan terciptanya persamaan dan keadilan di antara individu Dalam konsep keadilan yang terdapat dalam Islam, khususnya keadilan yang kaitannya dengan kehidupan sosial tentu tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai konsep ketuhanan, alam, hidup, dan manusia. Hal ini, karena keadilan merupakan bagian dari agama Islam. Adapun dasar dari keadilan sosial atau masyarakat yang berkeadilan menurut Sāyid Quṭb, adalah 1 al-Taḥarrur al-Wijdānī al-Muṭlaq, yakni keadaan dimana setiap individu sebagai bagian dari suatu kelompok tidak merasa tertekan dalam kehidupannya, terutama urusan dalam kegiatan beragama, 2 al-Musāwah al-Insānīyah al-Kāmilah, yakni suatu keadaan yang menggambarkan bahwa setiap perorangan mempunyai kedudukan yang sama di depan Tuhan Yang Maha Esa, 3 al-Takāful al-Ijtimā’ī al-Wathīq, yakni keadaan dimana setiap individu dijamin kebebasannya untuk melakukan apapun yang di kehendaki, dengan dibatasi oleh hak dan kepentingan 26 Aḥmad Amīn, al-Akhlāq, cet. Ke-2, 173. 27 Aḥmad Amīn, al-Akhlāq, cet. Ke-2, 175-76. 28 Muḥammad Taqī al-Mudarrisī, al-Tashrī al-Islāmī, juz 1, 14. 29 Lihat Abū al-Qāsim al-Dībājī, “al-Adl Dirāsah Mu’āṣirah”, Dirāsāt fī Uṣūl al-Dīn 2003, 14-16. Hafidz Taqiyuddin Konsep Islam Tentang Keadilan 174 anggota masayarakat Selain itu juga, keadilan dalam Islam merupakan inti sari Islam dan ruhnya, dan sesuatu yang dapat memberikan manusia perasaan aman, selamat, dan kehidupan yang Menurut Hashim Kamali, keadilan dalam Islam sering kali dianggap bias bahkan dipertanyakan para peneliti yang berlatar belakang Barat. Mereka mengklaim bahwa Islam tidak mengakomodir dan mengenal hak-hak dasar yang dibutuhkan oleh Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian mereka yang menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat diskriminasi di dalamnya. Menurut mereka adil atau keadilan pasti berarti sama besar equal. Padahal, keadilan tidak hanya didefinisakan dengan arti “sama” sebagaimana telah diterangkan pada awal bab ini. Dengan adanya pembahasan yang komprehensif mengenai kesemuanya, akan ditemukan karakter jelas mengenai keadilan yang terdapat dalam Islam, misalnya karakter hubungan antara makhluk dengan sang pencipta ḥabl min Allāh33, karakter hubungan antara manusia dengan makhluk lainnya, individu dengan masyarakat, dan hubungan antara personal dengan pemerintahan. Ini terjadi, karena keadilan sosial yang terdapat dalam Islam bersumber pada Alqur’an dan Hadis, sebagai dasar Konsep keadilan, baik dalam tataran hukum maupun yang lainnya merupakan sesuatu yang abstrak dan subjektif, karena tidak adanya parameter yang baku dan resmi untuk menilai ada tidaknya keadilan. Misalnya mengenai penilaian terhadap keadilan dan kesetaraan jender. Pada masyarakat umum, masih belum paham betul mengenai keadilan dan kesetaraan khususnya dalam kaitannya dengan jender, karena adanya penilaian parsial. Padahal, menurut Nasaruddin Umar, ada beberapa faktor yang dapat dijadikan ukuran sebagai pedoman dalam melihat prinsip-prinsip keadilan atau kesetaraan jender dalam Alqur’an, yaitu 1 laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah SWT, 2 laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi, 3 laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensial meraih prestasi, 4 laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial dengan Allah, 5 Adam dan Hawa terlibat aktif dalam drama kosmis ketika di Surga. 35 Hal 30 Lihat al-Adalāh al-Ijtimāīyah fī al-Islām oleh Sāyid Quṭb, Kairo Dār al-Shurūq, 1995, 31-53. 31 Lihat Abullāh Aḥmad al-Yūsuf, al-Adālah al-Ijtimā’īyah fī al-Qur’ān al-Karīm 2008, 17. diunduh 23/10/2013. 32 Lihat Mohammad Hashim Kamali, Shari’ah Law An Introduction Oxford, Oneworld, 2008, 199. 33 Hubungan tersebut berupa peng-Esa-an al-tawhīd dan ibadah mahḍah, seperti shalat, puasa dan zakat. Hal tersebut merupakan manifestasi dari inti keimanan dan keislaman yang dimaksud oleh Nabi SAW dalam salah satu sabdanya. 34 Lihat Sāyid Quṭub, al-Adalah al-Ijtimā’īyah fī al-Islām, 20. 35 Lihat Prinsip-Prinsip Kesetaraan Gender oleh Nasaruddin Umar, “Perspektif Jender dalam Islam” 1999. diakses 13/11/2013. Aqlania Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 2 Juli-Des. 2019, p. 167-181. 175 ini karena keadilan bukan merupakan sesuatu yang terbatas dalam ruang tertentu atau bidang permanen dalam aturan ataupun prinsip. Selain itu, keadilan dapat dipahami dan ditelusuri dengan lebih baik apabila kita memikirkannya sebagai sesuatu aturan dalam praktek-praktek yang terkait dengan hal Walaupun keadilan bukan dianggap sesuatu yang kongkrit, setidaknya menurut menurut Chainur Arrasjid, ada beberapa azas yang dapat dijadikan ukuran eksistensi keadilan, yaitu37 pertama, azas persamaan, keadaan yang menunjukkan setiap orang mendapatkan bagian secara merata, kedua, azas kualifikasi, yakni azas yang merujuk kepada pada kenyataan bahwa suatu beban tugas diberikan kepada personal yang mempunyai kemampuan untuk mengerjakannya, ketiga, azas prestasi objektif, keadaan yang menggambarkan sesuatu diberikan kepada individu yang yang patut untuk menerimanya, misalnya penghargaan karena keahlian atau kemampuannya, keempat, azas kebutuhan, dimana setiap orang memperoleh bagian sesuai dengan kebutuhan dan keperluannya, dan kelima, azas subjektif, yang didasarkan pada syarat-syarat subjektif, seperti ketekunan, kerajinan dan ketelatenan. Seringkali, menurut Anthon Susanto, keadilan dan ketidakadilan disandingkan dan dipertentangkan dalam sebuah ruang kajian, misalnya di mana ada konsep keadilan maka akan ada konsep ketidakadilan. Dia memperkuat pendapatnya dengan mengemukakan kasus yang terjadi di Indonesia yang diakibatkan oleh antitesa dari keadilann di bidang hukum, misalnya ketidakadilan jender dalam masyarakat daerah, dan tebang pilih dalam penetapan suatu putusan Keadilan dalam lingkup keilmuan Islam khususnya hukum Islam, baik hukum yang didasari wahyu berupa Alqur’an dan Hadis, maupun yang didasari oleh hasil ijtihad ulama, dapat diperoleh secara komprehensif dengan menyertakan pendapat ulama dari era awal sampai saat ini. Kajian ini penting dilakukan, karena konsep-konsep umum Alqur’an dan Hadis mengenai keadilan dan penerapannya menurut penjelasan Nabi SAW., perlu dipahami dengan berbagai interpretasi dari berbagai sisi, misalnya teologis, mazhab fiqh dan Keadilan dalam agama Islam, sangat berkaitan erat dengan konsep etika perolehan dan pendistribusian harta benda. Manifestasi pendistribusiannya berupa sifat kedermawanan philanthropy, perbuatan baik amal ṣāliḥ, dan mementingkan orang lain. Hal ini karena dipengaruhi pola pikir mereka yang beragama Islam menganggap bahwa manusia itu mempunyai derajat dan hak yang 36 Lihat Jane Flax, “The Play of Justice Justice as a Transitional Space”, Political Psychology, Vol. 14, No. 2, June 1993, 332. diunduh 31/05/2012. 37 Lihat Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Jakarta Sinar Grafika, 2004, 56-61. 38 Lihat “Keraguan dan Ketidakadilan Hukum Sebuah pembacaan dekonstruktif” oleh Anthon F. Susanto dalam Jurnal Keadilan Sosial, edisi 1, 2010, 23. 39 Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice, 3-4. Hafidz Taqiyuddin Konsep Islam Tentang Keadilan 176 sama untuk memperoleh Dengan demikian, mengenai keadilan yang dikaitkan dengan hukum tidak dapat dilepaskan dari penalaran akal terhadap nilai kebaikan, karena keadilan merupakan bagian dari sebuah nilai kebaikan. Dari sini, dapat dilihat bahwa adil dan tidaknya suatu hukum didasari oleh hasil pemikiran akal. Pendapat demikian dilontarkan oleh Mu’tazilah41. Jadi, menurut mereka bahwa akal dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang Berbeda dengan Mu’tazilah, menurut Mātūridiyah43, bahwa segala sesuatu terdiri dari hal yang baik secara zatnya, sesuatu yang buruk secara zatnya, dan sesuatu yang berada di antara baik dan buruk. Maksudnya baik dan buruknya ditentukan oleh hukum Allah shar yang terdapat dalam Jadi, akal hanya membantu manusia memahami kebaikan dan keburukan terhadap hukum yang di-taklīf-kan kepada manusia. Pendapat Mātūridiyah di atas sama dengan pendapat Ashariyah45. Walaupun demikian terdapat perbedaan, yakni menurut mereka bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini, baik dan buruknya ditentukan oleh Allah, sebagai Maha pencipta dan mengetahui. Juga ukuran baik dan buruk menurut Allah tidak dipengaruhi oleh Jadi dapat disimpulkan bahwa segala perintah Allah 40 Lihat Muhammad Reza Heidari, “A Comparative Analysis of Distributive Justice in Islamic and Non-Islamic Framework”, Islamic Conference 2007, 6. 41 Mu’tazilah merupakan salah satu mazhab dalam ilmu kalam yang berdiri di kota Baṣrah pada awal tahun kedua hijriyah. Mazhab ini didirikan oleh Wāṣil ibn Aṭā’ w. 131 H. sekitar tahun 81 H. sampai tahun 110 H. Mu’tazilah merupakan mazhab kalam yang lebih dulu terkenal dibanding mazhab pendahulunya, yakni Jaḥmīyah dan Qadarīyah. Kemudian diikuti oleh mazhab Ashariyah sebagai lawannya dan mazhab Māturidiyah sebagai pecahan dari Mu’tazilah. Mu’tazilah merupakan mazhab kalam yang mempunyai metode al-jam bayn al-manqūl wa al-maqūl gabungan dari hasil penalaran akal dan penelusuran wahyu. Lihat Hānim Ibrāhīm Yūsuf, Aṣl al-Adl inda al-Mu’tazilah Kairo Dār al-Fikr al-Arabī, 1993, 16-17. Lihat Ibn al-Murtaḍā, al-Manīyah wa al-Amal fī SharḤ al-Milal wa al-Niḥal Beirut Dār al-ṣādir, 4-10, dan lihat pula Aḥmad Mahmud ṣabahī, al-Falsafah al-Akhlāqīyah fī al-Fikr al-Islāmī, cet ke-2 Iskandaria Dār al-Maārif, 103 dan 181. 42 Aḥmad ibn Taymīyah, Daqā’iq al-Tafsīr, diedit oleh Muḥammad al-Jali
Abstrak: Keadilan merupakan harapan yang dapat dirasakan bagi seluruh umat. manusia, karena keadilan merupakan sebuah cita-cita luhur setiap negara untuk. menegakkan keadilan. Karenanya Islam
Berikut adalah detail Keadilan Itu Sendiri Adalah Sendi Pokok Ajaran Islam Yang Harus. Doc Bab Ii Pembahasan Agama Islam Dan Ekonomi Adi ïºïºïº ïº ïÿïºïºïºï Pendidikan Pancasila I Pemahaman Guru Pjok Sma Terhadap Materi Pencak Silat Dalam P4tik Tahun 2017 Pengantar Ilmu Pendidikan Pages 51 86 Text Version Islam Agama Kemanusiaan Nurcholish Madjid By Kruntil Issuu Hukum Dan Keadilan Berikut yang dapat admin bagikan terkait keadilan itu sendiri adalah sendi pokok ajaran islam yang harus. Admin blog Cara Mengajarku 2019 juga mengumpulkan gambar-gambar lainnya terkait keadilan itu sendiri adalah sendi pokok ajaran islam yang harus dibawah ini. Kerangka Dasar Agama Dan Ajaran Islam Ppt Download Pengaruh Implementasi Kompetensi Guru Pai Dan Non Pai Majelis Cinta Dakwah Postingan Facebook Mutiara Hikmah Deparment Of Islamic Economics April 2019 Faisal Basri Bahaya Tafsir A Historis Terhadap Pasal 156a Kuhp Jual Buku Pokok Pokok Ajaran Marhaenisme Menurut Bung Karno Kab Sleman Bakool Buku Jogja Tokopedia Menggagas Peradilan Etik Di Indonesia Islam Dan Pancasila Menurut Hamka Inpasonlinecom Tantangan Ideologi Kapitalisme Versus Keadilan Sosial Di M A L U K U Itulah gambar-gambar yang dapat kami kumpulkan mengenai keadilan itu sendiri adalah sendi pokok ajaran islam yang harus. Terima kasih telah mengunjungi blog Cara Mengajarku 2019.
Zakatadalah satu dari lima sendi pokok ajaran Islam yang menyangkut social ekonomi, dalam rangka mewujutkan kesejahteraan dan keadilan sosial yang merata bagi umat manusia. Dilihat dari segi kategorisasi dalam ajaran Islam atau dalam jajaran lima perangkat rukun Islam atau, orang cenderung memasukkan zakat
Oleh KH Abdurrahman WahidSalah satu ketentuan dasar yang dibawakan Islam adalah keadilan, baik yang bersifat perorangan maupun dalam kehidupan politik. Keadilan adalah tuntutan mutlak dalam Islam, baik rumusan “hendaklah kalian bertindak adil” an ta’dilû maupun keharusan “menegakkan keadilan” kûnû qawwâmîna bil qisthi, berkali-kali dikemukakan dalam kitab suci Al-Qur'an. Dengan meminjam dua buah kata sangat populer dalam peristilahan kaum muslimin di atas, UUD 45 mengemukakan tujuan bernegara menegakkan keadilan dan mencapai kemakmuran. Masyarakat adil dan makmur merupakan tujuan bernegara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Kalau negara lain mengemukakan kemakmuran dan kemerdekaan prosperity and liberty sebagai tujuan, maka negara kita lebih menekankan prinsip keadilan dari pada prinsip kemerdekaan demikian, sangat mengherankan jika kita sekarang lebih mementingkan swastanisasi/privatisasi dalam dunia usaha, daripada mengembangkan rasa keadilan itu sendiri. Seolah-olah kita mengikuti kedua prinsip kemakmuran dan kebebasan itu, dan dengan demikian kita kehilangan rasa keadilan kita. Sikap dengan mudah menentukan kenaikan harga BBM -yang kemudian dicabut kembali-, menunjukkan hal itu dengan jelas, kalau kita tidak berprinsip keadilan. Tentulah kenaikan harga itu harus menunggu kenaikan pendapatan, bukan sebaliknya. Bukankah dengan demikian, telah terjadi pengambilalihan sebuah paham dari negeri lain ke negeri kita yang memiliki prinsip lain, sesuai dengan ketentuan UUD 45? Adakah kapitalisme klasik yang melindungi kaum lemah, dengan akibat mereka harus dihilangkan begitu saja dalam kehidupan kita sebagai bangsa? Bukankah yang dimaksudkan oleh para pendiri negeri kita, adalah bentuk pemerintahan yang melindungi kaum lemah?Jelaslah dengan demikian, antara ketentuan dalam UUD 45 dan kebijakan pemerintah, terdapat kesenjangan dan perbedaan yang sangat menyolok. Dapat dikatakan, kebijakan pemerintah di bidang ekonomi tidaklah didasarkan pada konstitusi. Dengan demikian dapat disimpulkan, ketentuan UUD ditinggalkan karena keserakahan beberapa orang saja yang menginginkan keuntungan maksimal bagi diri dan golongan mereka saja. Ini adalah sikap dan kebijakan pemerintah yang harus dikoreksi oleh masyarakat dengan tegas. Keengganan kita untuk melakukan koreksi itu, hanya akan mengakibatkan kebijakan dan sikap pemerintah yang lebih jauh lagi menyimpang dari ketentuan UUD pun pemerintah bersikap lapang dada dan menerima kritikan atas penyimpangan dari UUD 45 itu, sebagai sebuah masukan yang konstruktif. Kita memiliki UUD 45 yang harus diperhatikan dan tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Kalau ingin menyimpang dari ketentuan konstitusi itu, maka konstitusi harus diubah melalui pemilu yang akan datang. Seperti halnya pengamatan Jenderal Purn. Try Soetrisno, bahwa rangkaian amandemen yang diputuskan sekarang telah menjadikan sistem politik kita benar-benar liberal, yang berdasarkan pemungutan suara terbanyak saja. Tentu ini harus dikoreksi dengan amandemen UUD lagi, karena hak minoritas harus dilindungi.*****Dalam memahami perubahan-perubahan sosial yang terjadi, kita juga harus melihat bagaimana sejarah Islam menerima hal itu sebagai sebuah proses dan melakukan identifikasi atas jalannya proses tersebut. Dalam hal ini, penulis mengemukakan sebuah proses yang kita identifikasikan sebagai proses penafsiran kembali reinterpretasi atas ajaran-ajaran agama yang tadinya dianggap sebagai sebuah keadaan yang “normal”. Tanpa proses penafsiran ulang itu tentunya Islam akan sangat sempit memahami ayat-ayat al-Qur’an. Seperti misalnya “Hari ini telah Ku-sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Ku-sempurnakan pemberian nikmat-Ku dan Ku-relakan bagi kalian Islam sebagai agama al-yauma akmaltu lakum dînakum wa atmamtu alaikum ni’mati wa radlîtu lakumul islâma dînan" QS al-Maidah [5]3. Ayat tersebut menunjukkan Allah menurunkan prinsip-prinsip yang tetap seperti daging bangkai itu haram, sedangkan hukum-hukum agama fiqh/canon laws terus-menerus mengalami perubahan dalam terkenal dalam hal ini hukum agama fiqh mengenai Keluar Berencana KB, yang bersifat rincian dan mengalami perubahan-perubahan. Dahulu, pembatasan kelahiran sama sekali ditolak, padahal waktu itu ia adalah satu-satunya cara untuk membatasi peningkatan jumlah penduduk. Dasarnya adalah campur-tangan manusia dalam hak reproduksi manusia di tangan Tuhan sebagai sang pencipta. Namun, kemudian manusia merumuskan upaya baru untuk merencanakan kelahiran tanzîm al-nasl atau family planning sebagai ikhtiar menentukan jumlah penduduk sebuah negara pada suatu waktu. Dengan demikian, dipakailah cara-cara, metoda, alat-alat dan obat yang dapat dibenarkan oleh agama, seperti pil KB, kondom dan sebagainya. Penggunaan metoda dan alat-alat tersebut sekarang ini, dilakukan karena ada penafsiran kembali ayat suci dalam upaya mengurangi jumlah kenaikan penduduk dari pembatasan kelahiran birth control ke perencanaan keluarga family planning.Contoh sederhana di atas, menunjukkan kepada kita, dengan jelas, betapa pentingnya proses penafsiran ulang tersebut. Tanpa kehadirannya, Islam akan menjadi agama yang mengalami “kemacetan” dan menyalahi ketentuan agama itu sendiri yang tertuang dalam ucapan “Islam sesuai untuk segenap tempat dan masa“ al-Islâm yasluhu li kulli makânin wa zamânin. Dengan demikian jelaslah, agama yang dibawakan Nabi Muhammad SAW itu pantas dinyatakan sebagai sesuatu yang sempurna, karena hanya pada hal-hal prinsip saja Islam bersifat tetap, sedangkan dalam hal-hal rincian dapat dilakukan penafsiran ulang kalau telah memenuhi persyaratan-persyaratan untuk itu.*****Dalam hal ini, kita lalu teringat pada konsep keadilan yang pada prinsipnya berarti pemberdayaan kaum miskin/lemah untuk memperbaiki nasib mereka sendiri dalam sejarah manusia yang terus mengalami perubahan sosial. Secara umum, Islam memperhatian susunan masyarakat yang adil dengan membela nasib mereka yang miskin/lemah, seperti terlihat pada ayat suci berikut; “Apa yang dilimpahkan dalam bentuk pungutan fa’ i oleh Allah atas kaum penduduk sekitar Madinah, maka harus digunakan bagi Allah, utusan-Nya, sanak keluarga terdekat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, para peminta-minta/pengemis dan pejalan kaki di jalan Allah. Agar supaya harta yang terkumpul itu tidak hanya berputar/beredar di kalangan orang-orang kaya saja di lingkungan kalian”. Ma afâ-a Allâhu ala rasûlihi min ahl al-qurâ fa li-Llâhi wa lir rasûli wa li dzil qurbâ wal yatâmâ wal masâkini wa ibnis sabil, kailâ yakûna dûlatan bainal aghniyâ minkum" QS al-Hasyr [59]7.Konsep mengenai susunan masyarakat seperti dikemukakan oleh ayat suci di atas, menunjukkan dengan jelas watak struktural dari bangunan masyarakat yang dikehendaki Islam, baik yang dicapai melalui perjuangan struktural seperti dikehendaki Sosialisme dan Komunisme maupun tidak, haruslah senantiasa diingat oleh para pemimpin gerakan Islam saat ini. Jika hal ini diabaikan, maka sang pemimpin gerakan Islam hanya akan menjadi mangsa pandangan yang memanfaatkan manusia untuk kepentingan manusia lain exploitation de l’home par l’home. Jelas, sikap seperti itu berlawanan dengan keseluruhan ajaran Islam sebagai agama terakhir bagi manusia. Karenanya, mereka yang memperebutkan jabatan atau menjalankan KKN dalam mengemban jabatan itu, mau tidak mau harus berhadapan dengan pengertian keadilan dalam Islam, baik bersifat struktural atau non-struktural?Dengan demikian jelaslah, bahwa telah telah terjadi pergeseran pemahaman dan pengertian dalam Islam mengenai kata “keadilan” itu sendiri. Dalam proses memahami dan mencoba mengerti garis terjauh dari kata idilû’ atau al-qist’ itu sendiri, lalu ada sementra pemikir muslim yang menganggap, sebaiknya digunakan kata “keadilan sosial” social justice dalam wacana kaum muslimin mengenai perubahan sosial yang terjadi. Kelompok ini, yang menginginkan pendekatan struktural dalam memahami perubahan sosial itu. Namun pada umumnya masih berfungsi wacana dari sebagian besar adalah para pemikir saja, bukannya pejuang/aktifis masyarakat. Tetapi, lambat-laun akan muncul para aktifis yang menggunakan acuan struktural itu, dan dengan demikian mengubah keseluruhan watak perjuangan kaum muslimin. Implikasinya akan muncul istilah “muslim revolusioner” dan lawannya yaitu “muslim reaksioner”. Memang mudah merumuskan perjuangan kaum muslimin itu, namun sulit memimpinnya, bukan?Tulisan ini pernah dimuat di "Memorandum" dan dimuat ulang dalam buku "Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi" karya KH Abdurrahman Wahid Jakarta, The Wahid Institute, 2006, halaman 168
OlehMohammad Hatta Setelah mengkritik perilaku partai dan politikus, Hatta mengungkap tiga sumber yang menghidupi cita-cita pergerakan kemerdekaan: sosialisme; Islam, dan kolektivisme. Hatta menekankan pada kolektivisme, yang dia sebut "demokrasi asli" Indonesia. Demokrasi Indonesia PENGALAMAN dengan pemerintahan otokrasi kolonial dalam bentuk negara-polisi menghidupkan dalam kalbu
Dalam tulisan-tulisan terdahulu, tampak jelas bahwa Islam tidak mementingkan bentuk kelembagaan, melainkan fungsi-fungsi lembaga. Karena itu, Islam tidak mengenal konsep tentang negara, melainkan tentang fungsi-fungsi negara. Dengan demikian, sebuah konsep negara bangsa nation-state menjadi sama nilainya dengan negara Islam. Pentingnya fungsi tersebut, akan dibicarakan dalam tulisan ini. Karenanya, prinsip pentingnya fungsi harus sudah dimiliki ketika membahas tulisan ini, tidak berarti Islam memusuhi konsep negara agama, termasuk konsep tentang Negara Islam, melainkan hanya menunjukkan betapa bentuk negara bukanlah sesuatu yang esensial dalam pandangan Islam, karena segala sumber-sumber tekstual adillah naqliyah tidak pernah membicarakan bentuk-bentuk negara. Yang selalu dibicarakan adalah berbagai fungsi dari sebuah negara, dan ini mengaharuskan kita untuk membuat telaahan secara mendalam mengenai konsep Negara Islam tersebut. Tanpa telaahan yang mendalam, kita akan bertindak gegabah dan bersikap emosional dalam menyusun konsep tersebut. Hal ini nyata-nyata bertentangan dengan petunjuk tekstual itu sendiri. Kitab suci Al-qur’an telah berfirman “bertanyalah kepada yang mengerti, jika kalian tidak mengetahui masalah yang dibicarakan” fa al-as’aluu ahla al-dzikri in kuntum laa ta’lamuun.Sikap ini, harus di ambil dan dimiliki kaum muslimin, jika mereka ingin menegakkan agama dan menjunjung tinggi ajaran-ajaran-Nya. Sikap emosional itu sendiri, dalam jangka panjang akan sangat merugikan, sedangkan dalam jangka pendek akan menambah keruwetan dalam perjuangan kaum muslimin sendiri. Ini bukan berarti penulis menentang gagasan adanya partai Islam, bahkan menegaskan bahwa parai-partai tersebut harus membuat telaahan tentang Negara Islam, hingga gagasan tersebut benar-benar dapat diterima oleh akal yang sehat dan oleh hati nurani kita sendiri. Hanya dengan sikap seperti itulah, perjuangan kaum muslimin akan membawa hasil yang diharapkan, dan mampu membawa kaum muslimin tersebut kepada pemenuhan tujuan yang diharapkan “negara yang baik, penuh dengan pengampunan Tuhan” baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur.*****Salah satu fungsi negara dalam pandangan Islam, adalah menegakkan keadilan. Firman Allah dalam kitab suci Al-qur’an berbunyi; “wahai orang-orang yang beriman, tegakkah keadilan dan jadilah saksi bagi Allah, walaupun mengenai diri kalian sendiri” yaa ayyuha al-ladzina amanuu kuunu qawwamiina bi al-qishti syuhada’a lillahi walau ala anfusikum. Jelas di sini, yang diminta adalah fungsi keadilan, bukannya bentuk penyelenggaraan keadilan oleh dari ayat ini, Islam lebih mementingkan penyelenggaraan keadilan, dan bukan bentuknya. Adakah keadilan itu mengambil bentuk ditetapkannya hukuman-hukuman pidana, ataukah berupa tender yang independen dan bebas dari permainan orang dalam insider’s trading, tidaklah menjadi persoalan benar. Yang terpenting adalah berfungsinya keadilan dalam kehidupan sehari-hari. Ini yang harus dipegangi oleh umat Islam dalam menegakkan negara, jika diinginkan kesejahteraan bersama dapat diraih oleh seluruh warga agak menyimpang dari pembahasan pokok ayat ini, dapat dikemukakan pendapat Al-athmawi, mantan ketua Mahkamah Agung MA Mesir, bahwa Hukum Pidana Islam mengenal prinsip menghindari dan menghukum deterrence and punishment terhadap/atas pelanggaran-pelanggaran pidana yang terjadi, karenanya setiap hukum yang memuat pinsip ini, termasauk hukum Pidana Barat Napoleonic Criminal Law yang berlaku di Mesir saat ini, sudah berarti melaksanakan hukum Pidana Islam tersebut. Memang, terjadi perdebatan sengit tentang pendapat Al-athmawi tersebut, tetapi penjelasan di atas menunjukkan besarnya kemungkinan yang dikandung oleh firman Allah di atas dalam penyelenggaraan negara yang sesauai dengan prinsip-prinsip demikian, menjadi jelas bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, yang terpenting adalah bagaimana keadilan itu dapat diwujudkan, bukannya bentuk negara yang diinginkan. Maka, jelaslah Islam lebih mementingkan fungsi dan bukan bentuk negara, suatu hal yang sering kita lupakan. Karenannya, pembahasan kita selanjutnya lebih baik ditekankan pada fungsi penyelenggaraan pemerintahan dari pada bentuk negara yang diinginkan.*****Strategi yang demikian sederhana, ternyata tidak dimengerti banyak orang. Apakah sebabnya? Karena orang lebih mementingkan formalitas sesuatu dari pada fungsinya. Tetapi, Islam juga mempunyai formalitas lain, yaitu pentingnya permusyawaratan/rembugan. Kitab suci Al-qur’an menyatakan; “dan persoalan mereka haruslah di musyawarahkan oleh mereka sendiri” wa amruhum syura bainahum, berarti secara formal Islam mengharuskan adanya demokrasi. Dalam sistem demokratik yang sebenarnya, suara penduduk yang memilih voter’s voice yang menentukan, dalam adagium bahasa latin disebutkan “vox populi vox dei” suara rakyat adalah suara Tuhan, jelas menunjukkan betapa penting arti demokrasi bagi Islam. Kalau rakyat memilih bukan partai Islam yang memerintah, dengan sendirinya formalitas keadilan juga ikut hal demikian, maka partai-partai Islam dan kaum muslimin haruslah menggunakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam ajaran Islam, bukannya bentuk lahiriyyah. Dari pembahasan singkat tentang fungsi keadilan yang harus terwujud dalam pemerintahan sebuah negara, menjadi nyata bagi kita bahwa mereka yang tidak menginginkan Negara Islam, tetapi menuntut pelaksanaan keadilan yang nyata dalam kehidupan, berarti telah melaksanakan ajaran Islam. Karena itu, kita harus mementingkan arti penyelenggaraan keadilan dalam kehidupan kita, sebagai amanat yang harus kita perjuangkan habis-habisan. Justru mereka yang mementingkan formalitas Hukum Islam tetapi melupakan penyelenggaraan keadilan ini, harus dipertanyakan sudah memperjuangkan ajaran Islam-kah atau belum? Sederhana bukan?Duta Masyarakat, 1/6/2002
. mlwgc7o3es.pages.dev/656mlwgc7o3es.pages.dev/552mlwgc7o3es.pages.dev/2mlwgc7o3es.pages.dev/639mlwgc7o3es.pages.dev/822mlwgc7o3es.pages.dev/781mlwgc7o3es.pages.dev/907mlwgc7o3es.pages.dev/301mlwgc7o3es.pages.dev/319mlwgc7o3es.pages.dev/123mlwgc7o3es.pages.dev/441mlwgc7o3es.pages.dev/229mlwgc7o3es.pages.dev/957mlwgc7o3es.pages.dev/737mlwgc7o3es.pages.dev/520
keadilan itu sendiri adalah sendi pokok ajaran islam yang harus